Sabtu, 17 Januari 2009

Ku Salah Jatuh Cinta Lagi

Randi emang keparat. Dia mutusin aku minggu lalu. Boni memang kurang ajar, dia selingkuh dengan Dian sahabatku sebulan yang lalu. Ryan paling kurang ajar, ternyata dia cuman ngincar uang ku. Dan Seto, hanya menjadikan aku sebagai pelampiasan sakit hatinya setelah ditinggal sang pacar. Dan puluhan cowok brengsek lainnya yang pernah hadir dalam hari-hariku.

Tapi kenapa , aku tetap semangat untuk mencari cinta itu. Aku masih percaya kalu cinta sejati itu ada. Sampai kapan pun. Sampai akhir hidupku. Sampai kumati. Sampai akhir nanti. 

***

Senja itu di bibir losari. Saat seorang kesatria bergitar sedang menyanyikan lagu Doraemon yang aku request. Dari sudut mata kulihat seorang cowok duduk sendiri. Termenung. Memandangi laut. Menanti perginya matahari. Sunset di losari.

Dan sudah seperti biasa, aku melangkah mendekati pria yang selalu membuat hatiku bertanya-tanya apa gerangan. Tak lupa sebelumnya kubayar selembar uang 5 ribuan untuk sang ksatria bergitar itu. Senyumnya mengembang, terbayang sebungkus nasi kuning untuk makannya malam ini.
 
Sang pria misterius tetap saja menatap laut saat kududuk disampingnya. Kupandangi wajahnya secara seksama. Raut kesedihan tergurat dari wajah itu. Sangat sedih

Dia tak terusik saat kupandangi wajahnya. Berbeda dengan cowok-cowk lain yang kikuk saat wajahnya dipandangi cewek se cakep aku. Tak kikuk kah dirinya??

Lalu kucoba membuyarkannya dari lamunan. Sesaat dia memandangku. Lama. Lalu beralih memandang laut itu. Separah itukah kesedihannya

Jujur, dia tak cakep-cakep amat. Kuberi dia nilai 7. Dari skala 1 hingga 10 untuk seorang cowok dimataku. Kulitnya agak hitam. Tidak sawo matang seperti lelaki kebanyakan. Seharusnya dia cuman kuberi nilai 6. Tetapi dia begitu misterius bagiku untuk saat ini. Kutambahkan 1 nilai untuknya. Paslah dia untuk nilai itu. 7 bagi si pria misterius.

Dongkol juga kalau jalannya begini terus. Tak ada komunikasi. Tetapi justru hal inilah yang membuat curiositasku akan cowok ini semakin menjadi. Kuputuskan untuk meninggalkannya. Tapi dengan sebuah kertas berisikan nomer hp ku untuknya. Sesaat sebelum aku beranjak pergi. Kubisikan sesuatu ketelinganya “Ini nomer hp ku. Hubungi aku jika kau merasa agak baikan”

***
Seminggu tak ada kabar darinya. Tak lagi kuharap ada kabar itu. Melihatnya hari itu, mungkin dia telah gantung diri karena despresi yang teramat sangat. Semoga saja tidak

Hingga sore itu, saat kubaru saja keluar dari kamar mandi. Hp ku berdering. Segera kuberlari ke kamar. Hampir saja handukku terlepas karenanya.

“Ini aku. Pria di losari. Kutunggu kehadiran mu malam ini di Taman segitiga seorang diri”

Hanya itu yang diucapkannya saat kuangkat telepon darinya. Tak ada kesempatan buatku untuk berbicara sedikitpun dengannya. Namun satu yang pasti, Ku ingin menemuinya.

***
Malam itu, di taman segitiga Makassar. Dua sosok manusia duduk berdua di slah satu sudut taman. Dikelilingi pepohonan. Tampa diterangi lampu taman. Dalam gelapnya malam.

Kami berbicara lama malam itu. Dia ternyata enak diajak ngomong. Namanya Milo. Kutahu itu bukan nama aslinya. Tapi setidaknya I know what should I call him.

Dia meminta maaf atas sore waktu itu. Dia memang depresi. Rasa sakit karena kehilangan seorang kekasihnya yang berangkat ke Jakarta. Baginya, long Distance Relationship bukanlah halangan dalam menjalin hubungan. Namun bagi pasangannya hal itu adalah masalah. Mereka pun putus.

Perbincangan berlanjut, tak tentu pangkal ujungnya. Laksana air yang terus mengalir. Ataupun angin yang terus saja bertiup. Hingga malam tak terasa makin larut.

Dia mengajak aku pulang saat malam dirasanya betul-betul larut. Sebelumnya dia mengajakku keliling kota Makassar. Mampir untuk mengisi perut di salah satu warung sari laut, serta menyaksikan puluhan wanita si kupu-kupu malam yang berdiri menanti lelaki penikmat seks.

Diantarnya aku hingga rumah. Lalu dia pun pergi dengan janji untuk bertemu lagi. Senang bukan kepalang. Dan saat kurebahkan diriku diatas ranjang, senyum ku mengembang. Bukan ku gila, namun kupikir, kujatuh cinta lagi.

Dan semuanya seakn menjadi indah setelah hari itu. Jalan kesana kemari bersamanya mewarnai hari-hari ku. Kutemukan lagi lelaki yang mampu membuat ku merasakn betapa indahnya dunia itu. Anehnya, tak ada kata cinta darinya.

Aku tersiksa. Batinku menjerit. Ingin kudengar ungkapan cinta darinya. Besar harapku dia mengatakan I Love You tepat ditelingaku dengan suara pelan dari mulutnya. Namun hingga waktu terus berjalan, moment indah itu tak datang. Mungkinkah ingatanya akan kekasihnya masih dirasakannya

Dan kuputuskan untuk mengatakannya duluan. Aku yang harus mengatakannya. Mungkin saja dia tipe pemalu yang menunggu respon terlebih dahulu dari seorang wanita ujarku dalam hati. Atau mungkin, dia memang tidak mencintaiku. Oh my God. Semoga hal itu tidak terjadi.

Dan malam ini, keputusan akan hubungan ini akan jelas. Cintakah dirinya atau tidak?? Siapakah aku dimatanya?? Sosok kekasihkah atau seorang teman biasa?? Atau berartikah aku untuknya?? Atau, atau dan ribuan atau lainnya???

Biarkan malam ini menjadi saksinya. 

***

Kumenangis sejadi-jadinya. Malam yang menjadi saksi hanya terdiam. Tak dibantunya aku untuk diam sejenak untuk melupakan semua ini. Dibiarkannya ku terduduk mengisi kejadian ini. Sebut saja tragedy ini. Dia hanyalah malam yang hanya mampu menjadi saksi. Baik bahagia ataupun petaka.

Harapku pupus saat kuucapkan kata cinta buat Milo. Milo hanya terdiam terkejut mendengarnya. Dia beranjak pergi meninnggalkan aku. Pergi dan tak kembali lagi.

Sudah kuoba untuk tidak menangis saat itu. Aku sudah kebal dengan sakitnya cinta. Terpaksa kupulang sendiri malam itu, dalam hati kutertawakan kebodohanku mengucapkan cinta kepada Milo. Apakah aku wanita tak tahu malu??
Namun akhirnya cucuran air mata itu pecah juga. Milo tenyata telah menantiku di depan rumah. Lalu menjelaskan apa artinya aku baginya. Aku terdiam mendengarnya. Tak ad air mata sat itu.

Tak ada yang patut ditangisi. Tak ada yang patut disesali. Cinta tidak harus dipaksakan. Ataupun memaksakn cinta kepada orang lain bukanlah hal yang seharusnya dilakukan. Aku sangat sadar akan itu.

Namun kenapa kumenangis malam itu. Namun kenapa hatiku harus hancur saat itu. Hanya malam yang tahu penyebabnya.Karena dia yang menjadi saksi. Dan dia yang mengetahui kalau aku salah jatuh cinta lagi.

Dan saat kau mengerti arti bahasa malam. Maka malam akan mengatakan kepadamu kalu Milo bukanlah lelaki normal. Milo seorang gay. Seorang Homoseksual. Kekasih yng meninggalkannya pun seorang lelaki.

Maka wajar jika kumenangisi cintaku.

Makassar, Minggu 10 Agustus 2008. Saat kesibukan tak lagi menghampiriku.

Jumat, 26 Desember 2008

Tuhan Untuk Juanito

Bukan keinginan Juanito terlahir di Negara dimana seorang ayah tidaklah harus menjadi suami yang sah bagi seorang istri. Bukan keinginan Juanito pula terlahir dengan ibu yang tidak memperdulikan makna agama ataupun kepercayaan akan keeksistensian Tuhan.

Tapi jika seandainya Tuhan memberikan kesempatan, bukan tidak mungkin Juanito memilih untuk lahir dari rahim seorang ibu yang memiliki suami dan agama serta Tuhan yang dipercayainya.Namun meskipun begitu, tak pernah sedikitpun Juanito merasa menyesal memiliki ibu seperti mamanya. Bagi Juanito Mama adalah superhero baginya. Mamalah yang mengajarkannya untuk tetap hidup tampa harus di bawah belas lasihan orang lain. Mama pula yang mengajarkannya makna kerja keras. Dan banyak hal lain yang diajarkan mama kepadanya. Cuman satu yang mama tidak ajarkan, Tuhan.

Yah, Juanito Ibarra de la Cruz. Begitu ibunya memberinya nama. Meski Terlahir di Amerika 17 tahun yang lalu, namun ternyata tidak menjadikan orang tua Juanito lupa akan nama di tanah leluhurnya. Dan nama berbau spanyol itulah yang kemudian dipakainya hingga sekarang.

Ibunya memang asli Spanyol. Kehadirannya di Amerika semata-mata karena mengitu Darren, pria kaya yang saat itu menjadi kekasihnya, dan seharusnya menjadi ayah bagi Juanito. 

Sayang, takdir berkata lain. Darren tidak menginginkan kehadiran si buah hati. Aborsi atau mereka berpisah. Begitu pilihan yang diberikan kepada Isabel saat itu. Dan sebagai wanita, jiwa keibuan menuntunnya untuk memilih Juanito ketimbang bersama Darren.

***

Juanito masih saja terus melamun memikirkan kehidupannnya. Terlalu berat beban hidup yang tidak seharusnya dibebankan untuk dirinya, apalagi menyangkut ketuhanan. Hal yang seharusnya ia miliki. Dimana dia harus berdoa dan mengadu saat dia menemukan banyak masalah yang harus dihadapinya? 

Pikirannya masih saja terus melayang. Kembali diingatnya bagaimana David berkunjung ke gereja saat dirinya ingin beribadah kepada Tuhan. Hal yang sama dilakukan Ahmed yang kemudian mengunjungi mesjid. Serta temen-temnnya yang lain yang mengunjungi rumah ibadahnya masing-masing. Cuman dirinya yang tidak memiliki tempat ibadah.

Keasyikan melamun, tanpa disadarinya, seorang wanita berpakaian aneh duduk di kursi yang sama dengannya. Terlihat jelas kalo wanita itu sengaja mengambil jarak duduk darinya. Saat tersadar, Juanito hanya terdiam tanpa menyapa. Dia pernah melihat wanita ini. Siswa disekolah yang sama dengannya, meski di kelas yang berbeda. Satu yang pasti, wanita ini muslimah. Kerudungnya menjadikannya lain di Amerika.

Saking lelahnya Junito lalu tertidur pulas di taman itu. Tak dihiraukannya wanita sebaya yang duduk membaca di sampingnya. Dalam tidurnya ia bermimpi. Suara yang samar-samar menuntunya ke suatu tempat. 

Dan saat dirinya terbangun, mimpi itu begitu terasa dalam ingatanya .Begitu pula dengan suara itu. Tapi entah dimana dia mendengarnya. Disampingnya, gadis berkerudung itu telah pergi. Tapi tunggu dulu, buku yang tadi dibaca gadis itu tertinggal disampingnya. Diatasnya sebuah kertas berisi catatan bertuliskan:

”Take this Qur’an for you. May God gives you guidance to the light”

Dan sadarlah dirinya kalo kemudian buku ini sengaja ditinggalkan untuknya. Entah kenapa, kata hatinya memaksa untuk mengambil buku itu.

***

Hampir seminggu Juanito membaca buku tersebut. Tulisannya yang berbahasa Arab tentu membuatnya kelimpungan. Untung saja ada arti di dalamnya. Dan satu hal yang membuatnya begitu tertarik, ada hal yang menceritakan tentang keesaan Tuhan di sana.
Hingga pada suatu siang, sepulang dari sekolah. Dilihatnya wanita aneh berkerudung yang menitipkannya buku tersebut. Bermaksud mengembalikan buku itu, Juanito membuntutinya hingga pada suatu tempat berasitektur Timur tengah dengan kubah diatasnya. Dan aha, suara itu... yah suara yang didengarnya saat tertidur. Ditemukannya di tempat ini. Juanito terkejut. Tetapi juga takjub.

”Hey, what are you doing here?” Sebuah suara kemudian menegurnya. Dia berbalik, Dan wanita berkerudung tepat berada di depannya. Sesaat Juanito tekesima. Ternyata, wanita ini manis juga.

”Ehh, I am so sorry. Aku sengaja mengikutimu. Aku ingin mengembalikan buku ini” Jawabnya seraya mengeluarkan buku itu dari tasnya.

Sang wanita tersenyum mendengarnya. ”No thanks, this is yours. Oya, satu hal lagi, ini bukan buku. Kami menyebutnya al-Qur’an.”

Juanito mengangguk. ”What about that voice?” Tanyanya kemudian.

”Kalo suara itu namanya Azan. Kamu akan selalu mendengarkannya setiap muslim seperti kami akan beribadah. Itu panggilan untuk menunaikan shalat.”

Sekali lagi Juanito mengangguk. Tapi sejujurnya dia bingung. ”That voice appears in my dream” Serunya kemudian, seakan ingin menumpahkan segala perasaan kebingungan dan keganjilan yang dialaminya selama ini.

Giliran wanita berkerudung yang terkejut. Juanito seorang atheis yang tak beragama. Tapi ada azan dalam tidurnya. Dirinya sendiri yang Islam sejak kecilnya, tak pernah mendegarkan azan dalam tidurnya. Ini pastilah sebuah pertanda.

”It’s incredible”. Mari, kupertemukan kau dengan seseorang” Ujarya kemudian seraya mengajak Juanito memasuki mesjid berasitektur Timur Tengah itu

***

Sudah hampir lima bulan sejak pertemuan Juanito dengan wanita berkerudung. Namanya Azma, wanita keturunan Iran yang telah lama menetap di Amerika. Azma yang kemudian mengajaknya bertemu seorang Uztadz. Dan sejak saat itulah Juanito mempelajari Islam. 

Dan sebulan sejak pertemuan itu, Juanito dengan mantap memeluk Islam sebagai agamanya. Dan disinilah akhirnya dia menemukan Tuahn. Meski tidak melihat-Nya. Namun banyak hal yang kemudian menjadikannya begitu percaya akan Tuhannya.

Banyak yang kemudian berubah dalam kehidupan Juanito. Tak ada lagi alkohol, dan pesta hura-hura sambil merokok marijuana dengan teman-teman Meksikonya seperti dahulu kala. Bahkan untuk ulang tahunnya sendiri, Juanito tidak merayakannya seperti dulu lagi, apalagi hari itu bersamaan dengan bulan Ramadhan. Dia berpuasa.

Mama sendiri tidak melarang anaknya memilih Islam. Bagi mama, jauanito telah tumbuh menjadi dewasa dan mampu membuat keputusannya sendiri. Apalagi hal ini terkait dengan masalah agama. Bukankah tidak ada paksaan dalam beragama?.

Senin, 08 Desember 2008

Forgetting TJ

Nola masih saja manyun. Mukanya yang sesungguhnya cantik itu tak terlihat seperti aslinya lagi. Kerutan gelisah, rindu, bercampur jengkel jelas terlihat dari wajah nya yang putih itu. Semua karena TJ.

Yah, Ini semua karena TJ. Pacarnya yang tinggal di bumi Barrack Obama sana, USA. Sudah hamper sebulan ini tak ada lagi kabar dari TJ. Baik melalui Hp maupun e-mail yang diberikannya. Serasa semuanya hambar karena tak ada teman berbagi. Apalagi pacar sebagai sandaran hati.

Salah sendiri, Nola sendiri yang memutuskan untuk berpacaran dengan TJ. Meski dia tahu kalo nantinya TJ bakalan balik ke Amrik. Dan Long Distance Relationship pasti bakalan dijalaninya. Namun cinta telah membutakannya. Bahkan, saking tergila-gilanya dengan TJ saat itu, Ga tanggung-tanggung, bahkan Nola yang duluan nembak TJ.

Semuanya bermula saat Nola ke Fort Rotterdam. Sudah menjadi ritual mingguan Nola buat ke Benteng tiap hari Ahad. Alasannya, di sana dia bisa belajar speaking Bahasa Inggris di salah klub meeting. Ditambah lagi, kesempatan buat kecengin cowo bule terbuka lebar. Bukankah tiap minggunya banyak bule yang ke Fort Rotterdam.

Dengan jeans biru yang dibelinya beberapa minggu yang lalu, plus T-shirt putih yang cocoknya di pakai oleh adiknya, Nola berangkat ke Benteng. Tak lupa dia membawa kamera digital bokapnya yang diambil sembunyi-sembunyi dari lemari bokap.

Saat itulah Nola bertemu TJ. Cowok bule dengan badan tinggi semampai, rambut coklat, kulit putih disertai dengan warna bola mata kebiruan. Perfect. Apalagi saat TJ memperkenalkan namanya. “I’m Tracy Jordan. But you may call me TJ” Pikiran Nola melayang, “bahkan sampai namanya aja keren banget” Ujarnya dalam hati.

Dengan agak canggung Nola menyapanya. Setelah cas cis cus dari How do you do, sampai How long have you been here dengan TJ, tampa disangka TJ mengajaknya makan siang di suatu tempat. Tidak tanggung-tanggung, tempatnya di hotel berbintang. Terang aja Nola menerima permintaan tersebut. Makan di hotel??? Kapan lagi.

Dan segalanya tidak berhenti sampai disitu. TJ yang memang baru pertama kali ke Makassar, meminta Nola menjadi guidenya. Sudah barang tentu Nola menerima. Dan mulailah petualangannya bersama TJ menyusuri keindahan bumi Hasanuddin ini dimulai. Berkunjung ke Tanjung Bira, menyeberang ke Takabonerate, hingga bermalam di Tana Toraja. 

Nola merasakan hal terindah dalam hidupnya. Something that she never got it before. Dan kesemuanya dirasakan bersama TJ. Anehnya, entah kenapa, Nola justru merasa kalo TJ mencintainya.

Sayangnya, hingga 2 hari sebelum keberangkatan TJ kembali ke kampung halamnya, tak sekalipun TJ mengungkapkan perasaan cinta itukepada Nola. Dan tentu saja hal ini memaksa Nola untuk bertindak cepat. TJ must know that I love him. Begitu pikirnya.

Entah karena dibutakan cinta, atau karena kepincut dengan cowok bule, Nola tampa malu mengungkapkan rasa cintanya kepada TJ. So what

TJ hanya tersenyum mendengarnya. Ditariknya Nola kedalam dekapanya. Lalu dengan pelannya membisikan ke telinga Nola jawaban akan perkataanya. Yeah, I love you too Nola

Nola begitu kegirangan mendengarnya. Apalagi TJ mengucapkannya sambil mendekapnya. Hal romantic yang tak mungkin dilakukan cowok Indonesia. Begitu pikir Nola.

Semua terasa begitu indah saat itu, bahkan sangat Indah. TJ adalah pangeran, dan Nola lah sang puterinya. Serasa dunia hanya miliknya. Sesaat cinta membutakan Nola, entah kenapa, dia bahkan rela saat TJ mengajaknya tidur bersama di hotel. Sebuah kesalahan fatal tentunya.

***

Genap sudah 2 bulan tampa ada message dari TJ Lagi. Entah beberapa puluh kali Nola mencoba menghubunginya. Namun tak ada jawaban sekalipun. Baik melalui sms hingga e-mail. Bahkan, Nola beberapa kali mencoba menelpon ke Amrik, namun tetap saja TJ tidak mengangkat telepon tersebut.
Semuanya membuat hati Nola hancur. Apalagi jika dia mengingat kalo dia bahkan telah memberikan hal terpenting dalam hidupnya kepada TJ. Namun penyesalan tetaplah penyesalan. Bukan penyesalan lagi namanya kalau datangnya didepan. Satu hal yang membuat Nola sedikit lega, karena apa yang telah dilakukannya dengan TJ malam itu untungnya tidak membuatnya sampai hamil.

Entah apa jadinya kalo sampai dia hamil. Mungkinkah kedua orang tuanya bisa menerima hal tersebut??? Akankah TJ bertanggung jawab
??? atau haruskah dirinya membesarkan seorang anak berkulit putih, bermata biru dengan rambut cokelat tampa seorang suami??? Untunglah hal tersebut tak terjadi.

***
Hari minggu yang cerah, tepatnya 3 bulan tampa TJ tentunya. Nola kembali ke ritual mingguannya. Celana jeans, baju kaos kekecilan, plus kamera b okap yang diambil sembunyi-sembunyi, Nola kembali datang ke Fort Rotterdam. Learning English dan kacangin bule pastinya.

Bagaimana dengan TJ. Tracy Jordan, yang begitu membutakan mata Nola. Semuanya telah berlalu. Bagi Nola, semua memori indahnya itu telah dia kunci rapat di dalam hatinya. There is no TJ anymore. Dan mungkin inilah saat nya Nola mencari pengganti TJ. Setidaknya, seorang bule yang lebih mampu bertanggung jawab dan mampu menerimanya. Dan bersedia untuk sehidup semati dengannya.

TJ is my memory. No more TJ in my heart. It was erased by the wind of disappointed. And this is my great time for forgetting TJ.

***
Nun jauh disana, disalah satu area pemakaman di Amerika, tubuh TJ telah terbujur kaku. Diatas Nisannya tertulis dengan jelas namanya, Tracy Jordan.

Kematian menjemputnya 3 bulan yang lalu. Sebuah mobil menghantam badannya Sesaat setelah dirinya keluar dari sebuah toko dengan boneka Teddy Bear berwarna pink yang dibelinya untuk Nola.

Tak ada yang mengetahui alasannya membeli boneka itu.


Minggu, 23 November 2008

I Love My Love

Los Angeles, California serasa begitu dingin in this winter. Meskipun salju tidak sampai turun di kota ini, tapi tetap saja tiupan angin yang sangat dingin menembus hingga ke tulang sumsum. Untungnya, rasa dingin itu hanya smpai di tulang sumsumku, tidak untuk hatiku.

Justru perasaan perih yang aku rasakan malam mini. Pukul 7:25 pm tadi, Zack memaksaku untuk putus dengannya setelah sebelumnya sempat mengajakku nonton di theatre di ujung jalan. Tak lupa pula dia membelikan aku pop corrn ukuran jumbo sebagai cemilannya. Tapi siapa yang sangka dia melakukan itu sebelum dia memutuskan aku. 

Hal yang membuatku semakin perih jika mengingat kalo Zack adalah cowok ke 5 yang memutuskanku di tengah hubungan. Sebelumnya aku sempat berpacaran dengan Marco, cowok asal Italia pemilik toko roti “Italian Bread”. Juga dengan Dejan, mahasiswa asal Serbia yang selalu menegurku jika salah dalam melafalkan namanya, ataupun dengan Nihat, American yang orang tuanya keturunan Turki.

Memang begitulah konsekwensinya, aku masih ingat kata dosenku, “Life is the matter of choice, you take the choice you get the risk”. Yah, hidup tidak lebih dari persoalan memilih, dan setiap pilihan pastilah memiliki resiko. Sama halnya dengan cinta,Aku tahu itu.

Cate yang sedari tadi memperhatikanku perlahan mendekati, secangkir cappucino panas dibawakan untukku. “Do not cry babe, Man is not only Zack” Ujarnya menghibur seraya menyandarkan kepalaku di pundaknya.

Ada perasaan tenang merasuki aku, setidaknya untuk beberapa saat. Cate satu-satunya best friendku selama menjalani kuliah yang super berat di Amrik. Meskipun dia bukan dari Indonesia, tapi menurut ceritanya, dia memiliki darah Indonesia. Itu dia dapatkan dari kakeknya yang berasal dari Bulukumba. Satu daerah di Sulawesi Selatan. Bira Beach tepatnya.

Dalam hati aku mengiyakan, Zack bukanlah satu-satunya pria. Masih banyak pria di luar sana yang bisa aku jadikan sebagai pacar selanjutnya.

California masih begitu dingin malam ini, tetapi hatiku setidaknya tak lagi terlalu bersedih
***

Dua belan sejak aku break dengan Zack. Aku masih menjomblo. Tak ada teman untuk acara dinner ataupun pasangan ke pesta teman. Kul juga semakin berat, ditambah lagi target bahasa Spanyol yang harus aku kuasai belum tercapai secara maksimal. Berita bagusnya, aku diterima sebagi karyawan di sebuah suparmaket. Zack sendiri, dia pindah ke west cost mengikuti pacarnya yang baru.

Hariku-hariku terus berjalan, meski tampa seorang kekasih but life must go on. Itu yang aku selalu ucapkan saat aku merasa kesepian. Hingga pada suatu hari aku bertemu dengan Pablo, pria berkebangsaan spanyol yang baru 3 bulan di Negeri Paman Sam karena mengikuti jejak kakak nya yang tinggal di sini.

Kami bertemu di tempat aku kerja, dia kelihatan bingung saat itu, dan sebagai pelayan, aku berusaha menyapanya dan menanyakan apa yang dibutuhkannya. Namun dia diam saja, hingga memaksaku untuk mengulang pertannyaan.

“May I help you sir?” Dan dia masih tetap diam. Wajahnya pucat pasi. Entah apa yang terjadi padanya.

Dengan terbata dia berkata; I sorry. Ujarnya dengan grammar yang salah. “Yo no hablo Inglés. Hablo español” Ujarnya kemudian.

Aku tersenyum mendengarnya, dia tak mengerti bahasa Inggris rupanya, yang dia ketahui hanyalah spanyol. Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitu pikirku saat mendengarnya. Ini saatnya mencoba bahasa spanyol yang kumiliki.

¿Puedo ayudarle tanyaku mengulang pertanyaan yang sama dalam bahasa spanyol. Ada pancaran lega dimukanya. Dan dengan cepat dia memberitahukan kepadaku kalo dia membutuhkan beberapa cereal, roti dan juga sekaleng selei kacang.

Sesaat setelah semuanya selesai, pembicaran berlanjut ke acara perkenalan, Pablo mengatakan kalo dirinya bangga melihat diriku yang mampu berbahasa spanyol, dilain pihak aku berjanji akan mengajarinya belajar berbahasa Inggris. Dan seperti biasa, janji untuk bertemu pun dengan sendirinya tercipta.

Sejak saat itu, aku kemudian intens berhubungan dengan Pablo, selain untuk melatih kemapuan berbahasa Spanyol, aku juga mengajarinya berbahasa Inggris, ditambah lagi Pablo adalah orang yang enak diajak ngomong. Namu sesungguhnya jauh dibalik itu, ada benih cinta yang muncul dariku untuk Pablo.

Sebulan bersama Pablo menjadikan aku menjadi banyak tahu tentang kehidupannya. Hidup yang tidak berkecukupan di Madrid memaksanya pindah dan memilih Amerika sebagai tempat menggantungkan harapannya. Setidaknya, disini dia bisa menjadi seorang montir di bengkel kakaknya.

Tapi hal itu bukanlah kendala untuk mengatakan “Me teamo” ( I Love You nya bahasa Spanyol) kepada Pablo. Dan syukurnya, Pablo pun mau menerimaku. Terlepas dari nantinya Pablo akan meninggalkan aku atau tidak, aku hanya akan menjalaninya.

Baik Marco, Zack, Nihat, Dejan ataupun Pablo adalah bagian kisah ku dalam upaya untuk menemukan cinta sejati ku. Dan aku menikmati semua kehidupan ku bersama mereka, setidaknya sampai mereka memutuskanku. Namun selama mereka menjadi pacarku, pasti akan kuusahakan untuk selalu mencintainya. Yeah. Love is blind, But I love my love.



Senin, 10 November 2008

Sorry, My Love

Empat tahun berpacaran pasti bukanlah waktu yang cepat. Banyak hal yang pastinya telah dilalui dengan waktu selama itu. Having fun, jalan ke mall, bertengkar, hingga putus sambung menjadi bumbu hubunganku dengan Rhena. Tapi semuanya bisa kita lalui hingga saat ini. Every thing is going well.

Celakanya, semuanya seakan terenggut saat Rhena menanyakan tentang keseriusanku, serta kapan aku akan menikahinya. Langit seakan runtuh sejak saat itu. Hampir seminggu aku merenung di kamar, berusaha untuk menenangkan diri. Entah berapa kali Rhena mengajaku keluar, namun kutolak dengan alasan lagi gak enak badan.

Sumpah, tak pernah sedikitpun aku memikirkan kapan akan menikahi Rhena. Gadis yang selama ini bersama ku. Bagi ku, hubungan ini hanyalah sebuah hubungan yang seharusnya dijalani tampa harus memikirkan apa kita harus menikah atau tidak.

Tapi nyatanya aku salah. Aku lupa kalo aku berada di Indonesia. Aku lupa kalo Rhena bukanlah wanita Barat seperti yang selama ini aku saksikan di film-film. Rhena adalah wanita Indonesia yang merasa kalau hubungan pacaran haruslah berakhir di pelaminan. Apalagi ditambah dengan tuntutan keluarga yang mengharuskannya untuk segera menikah.

Setelah mengurung diri selama satu minggu lebih, kuputuskan untuk bertemu dengan Rhena. Aku tahu kalo hal ini akan sangat sulit baginya. Tapi dia harus tahu yang sebenarnya. Dia harus bisa menerima kenyataanya.

***

Aku sengaja memilih taman kota sebagai tempat kami bertemu. Apalagi kalo bukan alasannya kalo tempat ini sepi di malam hari. Setidaknya tidak ada yang akan melihat kalo seandainya nanti aku dan Rhena bertengkar hebat.

Malam itu Rhena sangat cantik. Tangan nya menggenggam tanganku erat. Sangat erat malah. Aku bahkan hampir membatalkan rencana awalku. Namun kukuatkan hatiku untuk mengatakannya.

“Rhen, ada hal yang seharusnya kamu tahu” Ucapku perlahan
“Kenapa say, bilang aja” Ujarnya manja.

Aku tertegun mendengarnya, kata sayang itu, masihkah akan terdengar setelah pertemuan saat ini?

“Aku tak bisa menikahimu Rhen, maksudnya aku tak mungkin menikahimu.”

Aku tak perlu mengulang kata-kata ku saat itu. Kulihat Rhena seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Rhen, sejak awal aku tak pernah sedikitpun memikirkan mengenai pernikahan. Aku hanya ingin menjalani hubungan ini, Namun bukan berarti kita harus menikah kan?????” Ucapku kemudian menambahkan.

Dan seperti wanita pada umumnya, Rhena menangis saat itu. Sangat sakit pastinya. Aku bisa merasakan nya. Dan tangannya tak lagi menggenggam tanganku.

Entah karena perih yang tak tertahankan, atau karena kebencian yang muncul dari dalam diri Rhena, tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Sangat keras malah, apalagi karena itu dari Rhena.

Rhena bergegas pergi setelah itu, dia masih saja terus menangis. Namun aku tidak berusaha menghentikannya. Aku sadar kalo Rhena sangat terpukul. Sama halnya dengan aku yang terpukul dengan tamparannya.

“Yeah, these all my faults. Sorry My Love”. Ujarku membatin.

Sehari setelah itu, sebuah box besar tepat berada di depan pintu kos ku saat ku terbangun. Entah siapa yang mengantarkannya. Isinya berupa segala pernak-pernik yang aku pernah berikan untuk Rhena. Bahkan surat pertama yang ku kirimkan untuknya pun turut dikembalikan.

Bersamaan dengan box itu, sepucuk surat yang hampir semua kalimatnya berisi umpatan kepada ku tak lupa juga dikirimkan Rhena. Aku jadi teringat kata-kata orang. Selisih antara Cinta dan Benci itu sangatlah tipis.

***

3 tahun sejak pertemuan terahir di taman malam itu, aku berdiri di tepi jalan di Vancouver dengan sweeter abu-abu yang aku beli dua minggu yang lalu. Meski tidak terlalu tebal, tapi setidaknya dapat mencegah dari rasa dingin yang sangat menggigit saat salju turun di kota ini.

Kini aku tinggal di Vancouver, Canada. Melanjutkan S2 ku di kota ini di sebuah universitas terkemuka. Bagaimana dengan Rhena? Berita terakhir yang aku dengar, di telah menikah dan memiliki sepasang anak kembar. Bahkan, kini sedang mengandung anak yang ketiganya.

Dalam hati, aku berdoa agar Rhena tetap bahagia selamanya. Kuharap diapun mendoakan hal yang sama buatku. Namun sepertinya hal itu mustahil terjadi. Rhena tak lagi mencintaiku. Dia membenciku.